Bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi negara. Kedudukan dan fungsi itu diakui sudah lama. Kalau dihitung usianya sudah memasuki separuh abad. Rentangan usia tersebut harusnya sudah mampu mencapai tingkat kematangan dan sempurna dalam berbahasa. Namun nasibnya semakin memprihatinkan. Bahasa Indonesia menjadi anak tiri atau dipandang sebelah mata oleh penuturnya. Bahkan di sekolah peserta didik sendiri merasa bosan dan enggan belajar Bahasa Indonesia.
Keluhan mereka bahwa yang dipelajari hanya itu-itu saja seperti : EYD (Ejaan Yang Disempurnakan), kosakata, kalimat, tata bahasa, cerpen, puisi dengan segala unsur-unsur intrinsik, dan sebagainya. Materi tersebut mulai dipelajari sejak di SD, SMP, dan SMA bahkan sampai di PT pun demikian. Pembelajarannya lebih bersifat teoritis sehingga dalam berbahasa kurang dari harapan, yaitu berbahasa yang baik dan benar. Hal ini karena paradigma yang dibentuk dalam pembelajaran bahasa Indoensia bukan menekankan pada keterampilan siswa menggunakan bahasa (language use) melainkan pada aturan pemakaiannya (language usage).
Dari segi usia, kita boleh merasa bangga, tetapi dalam pemakaiannya justru bahasa Indonesia mengalami banyak masalah. Anjuran untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar masih sebatas slogan. Dalam pemakaiannya ditemukan bahwa EYD tidak diperhatikan, kalimat rancu dan kacau, kosakata lebih parah, dan semantik sulit dipahami maknanya. Maka kita boleh bertanya di era globalisasi ini, kapankah potret suram pembelajaran bahasa Indonesia mengalami pencerahan? Tidak pasti, karena iklim pembelajaran kita masih dominatif dan tidak humanis.
Pembelajaran Bahasa Indonesia yang Humanis
Bahasa menunjukkan bangsa. Bahasa mencirikan kebudayaan dan peradaban manusia. Jika itu menjadi esensi dari bahasa Indonesia, maka dalam pembelajaran bahasa Indonesia perlu revitalisasi. Iklim pembelajaran harus menempatkan siswa (peserta didik) sebagai manusia yang mempersiapkan masa depan secara kritis dan kreatif. Tandanya pembelajaran bahasa Indonesia harus bercirikan humanis. Pembelajaran bahasa Indonesia yang humanis dapat direpresentasikan dalam berbagai aspek pembelajaran. Aspek-aspek pembelajaran itu seperti proses penyiapan bahan, proses pembelajaran, dan evaluasi. Pembelajaran humanis harus mengedepankan pemikiran-pemikiran kritis, kreatif, dan dialogis, sehingga dapat memenuhi harapan dari aspek tersebut.
Pendidikan yang membebaskan, menawarkan pembelajaran yang humanis. Siswa merupakan subjek didik dan sebagai individu yang memiliki keinginan dan karakteristik yang beragam. Dengan demikian, proses pembelajaran di kelas harus mendorong siswa untuk mengenal dan menangkap realitas kehidupan secara kritis. Pembelajaran tidak direduksi menjadi penyeragaman pikiran, perasaan, maupun prilaku, sehingga pembelajaran di kelas merupakan proses bagi siswa untuk mendapatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap untuk hidup.
Pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah-sekolah kita masih cenderung didominasi oleh guru-guru. Guru-guru masih berpegang teguh pada buku pelajaran. Padahal bahan pelajaran atau materi pembelajaran dalam buku tersebut hanya berdasarkan asumsi-asumsi para ahli dan perancang kurikulum yang kurang mengenal kebutuhan dan lingkungan siswa. Begitulah nasib pembelajaran bahasa Indonesia sampai saat ini. Selain itu, guru berceramah dan siswa mendengar atau mencatat. Kita lupa bahwa apa yang dipelajari itu harus bertolak dari diri dan pengalaman siswa atau berpusat pada diri peserta didik (student centered instruction), bukan mengabdi kepada penguasa.
Guru harus sadar bahwa pembelajaran itu harus berpusat pada siswa atau peserta didik. Kesadaran ini memberi peran guru sebagai berikut. Pertama, guru membantu siswa menemukan fakta, konsep, atau prinsip bagi dirinya sendiri atau bukan berceramah dan mengendalikan seluruh kegiatan kelas. Kedua, guru membantu siswa dengan memberikan informasi yang bermakna dan relevan bagi siswa serta memberi kesempatan kepada siswa untuk menerapkan ide-ide yang ditemukannya. Ketiga, guru menjadi tangga yang dapat mengantar siswa mencapai pemahaman yang lebih tinggi sesuai dengan minat, kemampuan, dan bakatnya. Keempat, guru memberikan motivasi kepada siswa untuk bekerja secara kooperatif, artinya dapat memecahkan masalah dalam kelompok kecil, ia juga belajar demokrasi melalui interaksi satu dengan yang lain. Pembelajaran yang kooperatif ini merupakan pilihan yang tepat untuk membangun pembelajaran bahasa Indonesia yang humanis.
Pembelajaran yang kooperatif
Paradigma pembelajaran kooperatif ini tidak jauh berbeda dengan pembelajaran yang konstruktif yang diadopsi dari teori Vygotsky. Pada prinsipnya teori tersebut menekankan hakikat sosial dari pembelajaran. Siswa belajar melalui interaksi orang dewasa dan teman sebaya yang lebih mampu. Siswa dihadapkan pada proses berpikir teman sebaya mereka, sehingga hasil belajar terbuka untuk seluruh siswa. Menurut Ibrahim dkk. (2000), ada tujuh dasar pembelajaran kooperatif, yaitu (a) siswa dalam kelompoknya merasa sehidup sepenanggungan bersama, (b) siswa bertanggung jawab atas segala sesuatu dalam kelompoknya (c) siswa di dalam kelompoknya mempunyai tujuan yang sama, (d) siswa membagi tugas dan tanggung jawab yang sama di antara anggota kelompok, (e) siswa akan mendapat nilai atau penghargaan untuk semua anggota kelompok, (f) siswa berbagi kepemimpinan dan membutuhkan keterampilan untuk belajar bersama, dan (g) siswa diminta mempertanggungjawabkan secara individual materi yang ditangani dalam kelompok koopertatif.
Dengan pembelajaran yang kooperatif, kita dapat menikmati keunggulannya dalam hasil belajar akademik, penerimaan terhadap perbedaan individu, dan pengembangan keterampilan sosial. Keunggulan tersebut dapat membantu siswa memahami konsep-konsep yang sulit. Hal-hal seperti inilah menjadi sarana efektif untuk mendidik perilaku humanis siswa. Di sini secara makro pembelajaran bahasa Indonesia dapat menanamkan nilai-nilai humanis dalam diri siswa yang heterogen itu.
Akan tetapi, pembelajaran yang kooperatif ini tidak banyak dikembangkan dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Hal ini karena guru dan siswa telah ‘dininabobokan’ dengan pembelajaran yang konvensional, yakni berpegang teguh pada buku teks dan latihan soal-soal untuk ujian nasional (UN). Inilah momok pembelajaran bahasa Indonesia yang lebih menekankan hasil bukan proses.
Sungguh ironis hasil itulah yang menentukan “nasib” siswa. Nasib peserta didik cenderung divonis dari performansi akhir, tanpa melihat bagaimana usaha mereka. Sangat disayangkan, pembelajaran bahasa Indonesia sepertinya tidak membumi lagi yang mau membentuk nilai-nilai humanis sehingga menjadi budaya dalam hidup bermasyarakat. Sebab dengan cara demikian, berarti kita mengorbankan jutaan generasi yang memiliki kebanggaan dan kecintaannya terhadap bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan persatuan yang lahir dari sekolah itu akan musnah, sirna, dan lenyap. Selain itu, kita juga mengajar dan mendidik mereka tidak menghargai bahasa Indonesia itu sendiri. Sungguh malang nasib Bahasa Indonesia. **
Senin, 09 Juni 2008
FAKTA DAN OPINI DALAM PEMBELAJARAN MENULIS BERITA
http://www.usd.ac.id/06/publ_dosen/gatra/jan05/kadi.htm
Fakta dan opini merupakan dua hal yang berbeda. Namun, dalam pemberitaan kedua hal tersebut sering dikacaukan dengan pengertiannya. Perbedaan fakta dan opini telah ditegaskan dalam Undang-undang Kode Etik Jurnalistik Wartawan Indonesia (KEJWI). Meskipun dalam KEJWI tidak menggunakan istilah “opini” tetapi memakai istilah “pendapat”.
Perbedaan secara jelas antara fakta dan opini menjadi sangat penting dalam menulis berita, karena berita harus benar-benar menyajikan fakta yang didukung oleh data. Seandainya dalam berita terdapat opini dari nara sumber atau dari wartawan, opini tersebut harus benar-benar dapat dibedakan mana yang fakta, mana yang opini dari nara sumber, dan mana yang berupa opini dari wartawan. Dengan demikian, sebuah berita benar-benar menyajikan informasi yang benar dan tidak membohongi publik.
Hal ini perlu diajarkan kepada mahasiswa agar mereka tidak melakukan kesalahan yang sama dengan para penulis berita sebelumnya. Strategi pembelajarannya diseyogyakan dilakukan dengan pendekatan active learning. Untuk model pembelajarannya digunakan dasar komunikatif dan integratif. Dasar langkah-langkah kegiatan belajar mengajar digunakan penalaran induktif. Evaluasinya tidak melulu berdasarkan hasil tugas akhir, melainkan berdasarkan dinamika mahasiswa dalam kegiatan belajar di kelas secara komprehensif.
Fakta dan opini merupakan dua hal yang berbeda. Namun, dalam pemberitaan kedua hal tersebut sering dikacaukan dengan pengertiannya. Perbedaan fakta dan opini telah ditegaskan dalam Undang-undang Kode Etik Jurnalistik Wartawan Indonesia (KEJWI). Meskipun dalam KEJWI tidak menggunakan istilah “opini” tetapi memakai istilah “pendapat”.
Perbedaan secara jelas antara fakta dan opini menjadi sangat penting dalam menulis berita, karena berita harus benar-benar menyajikan fakta yang didukung oleh data. Seandainya dalam berita terdapat opini dari nara sumber atau dari wartawan, opini tersebut harus benar-benar dapat dibedakan mana yang fakta, mana yang opini dari nara sumber, dan mana yang berupa opini dari wartawan. Dengan demikian, sebuah berita benar-benar menyajikan informasi yang benar dan tidak membohongi publik.
Hal ini perlu diajarkan kepada mahasiswa agar mereka tidak melakukan kesalahan yang sama dengan para penulis berita sebelumnya. Strategi pembelajarannya diseyogyakan dilakukan dengan pendekatan active learning. Untuk model pembelajarannya digunakan dasar komunikatif dan integratif. Dasar langkah-langkah kegiatan belajar mengajar digunakan penalaran induktif. Evaluasinya tidak melulu berdasarkan hasil tugas akhir, melainkan berdasarkan dinamika mahasiswa dalam kegiatan belajar di kelas secara komprehensif.
Langganan:
Postingan (Atom)