Senin, 09 Juni 2008

Menggagas Pembelajaran Bahasa Indonesia yang Humanis

Bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi negara. Kedudukan dan fungsi itu diakui sudah lama. Kalau dihitung usianya sudah memasuki separuh abad. Rentangan usia tersebut harusnya sudah mampu mencapai tingkat kematangan dan sempurna dalam berbahasa. Namun nasibnya semakin memprihatinkan. Bahasa Indonesia menjadi anak tiri atau dipandang sebelah mata oleh penuturnya. Bahkan di sekolah peserta didik sendiri merasa bosan dan enggan belajar Bahasa Indonesia.

Keluhan mereka bahwa yang dipelajari hanya itu-itu saja seperti : EYD (Ejaan Yang Disempurnakan), kosakata, kalimat, tata bahasa, cerpen, puisi dengan segala unsur-unsur intrinsik, dan sebagainya. Materi tersebut mulai dipelajari sejak di SD, SMP, dan SMA bahkan sampai di PT pun demikian. Pembelajarannya lebih bersifat teoritis sehingga dalam berbahasa kurang dari harapan, yaitu berbahasa yang baik dan benar. Hal ini karena paradigma yang dibentuk dalam pembelajaran bahasa Indoensia bukan menekankan pada keterampilan siswa menggunakan bahasa (language use) melainkan pada aturan pemakaiannya (language usage).

Dari segi usia, kita boleh merasa bangga, tetapi dalam pemakaiannya justru bahasa Indonesia mengalami banyak masalah. Anjuran untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar masih sebatas slogan. Dalam pemakaiannya ditemukan bahwa EYD tidak diperhatikan, kalimat rancu dan kacau, kosakata lebih parah, dan semantik sulit dipahami maknanya. Maka kita boleh bertanya di era globalisasi ini, kapankah potret suram pembelajaran bahasa Indonesia mengalami pencerahan? Tidak pasti, karena iklim pembelajaran kita masih dominatif dan tidak humanis.



Pembelajaran Bahasa Indonesia yang Humanis

Bahasa menunjukkan bangsa. Bahasa mencirikan kebudayaan dan peradaban manusia. Jika itu menjadi esensi dari bahasa Indonesia, maka dalam pembelajaran bahasa Indonesia perlu revitalisasi. Iklim pembelajaran harus menempatkan siswa (peserta didik) sebagai manusia yang mempersiapkan masa depan secara kritis dan kreatif. Tandanya pembelajaran bahasa Indonesia harus bercirikan humanis. Pembelajaran bahasa Indonesia yang humanis dapat direpresentasikan dalam berbagai aspek pembelajaran. Aspek-aspek pembelajaran itu seperti proses penyiapan bahan, proses pembelajaran, dan evaluasi. Pembelajaran humanis harus mengedepankan pemikiran-pemikiran kritis, kreatif, dan dialogis, sehingga dapat memenuhi harapan dari aspek tersebut.

Pendidikan yang membebaskan, menawarkan pembelajaran yang humanis. Siswa merupakan subjek didik dan sebagai individu yang memiliki keinginan dan karakteristik yang beragam. Dengan demikian, proses pembelajaran di kelas harus mendorong siswa untuk mengenal dan menangkap realitas kehidupan secara kritis. Pembelajaran tidak direduksi menjadi penyeragaman pikiran, perasaan, maupun prilaku, sehingga pembelajaran di kelas merupakan proses bagi siswa untuk mendapatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap untuk hidup.

Pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah-sekolah kita masih cenderung didominasi oleh guru-guru. Guru-guru masih berpegang teguh pada buku pelajaran. Padahal bahan pelajaran atau materi pembelajaran dalam buku tersebut hanya berdasarkan asumsi-asumsi para ahli dan perancang kurikulum yang kurang mengenal kebutuhan dan lingkungan siswa. Begitulah nasib pembelajaran bahasa Indonesia sampai saat ini. Selain itu, guru berceramah dan siswa mendengar atau mencatat. Kita lupa bahwa apa yang dipelajari itu harus bertolak dari diri dan pengalaman siswa atau berpusat pada diri peserta didik (student centered instruction), bukan mengabdi kepada penguasa.

Guru harus sadar bahwa pembelajaran itu harus berpusat pada siswa atau peserta didik. Kesadaran ini memberi peran guru sebagai berikut. Pertama, guru membantu siswa menemukan fakta, konsep, atau prinsip bagi dirinya sendiri atau bukan berceramah dan mengendalikan seluruh kegiatan kelas. Kedua, guru membantu siswa dengan memberikan informasi yang bermakna dan relevan bagi siswa serta memberi kesempatan kepada siswa untuk menerapkan ide-ide yang ditemukannya. Ketiga, guru menjadi tangga yang dapat mengantar siswa mencapai pemahaman yang lebih tinggi sesuai dengan minat, kemampuan, dan bakatnya. Keempat, guru memberikan motivasi kepada siswa untuk bekerja secara kooperatif, artinya dapat memecahkan masalah dalam kelompok kecil, ia juga belajar demokrasi melalui interaksi satu dengan yang lain. Pembelajaran yang kooperatif ini merupakan pilihan yang tepat untuk membangun pembelajaran bahasa Indonesia yang humanis.



Pembelajaran yang kooperatif

Paradigma pembelajaran kooperatif ini tidak jauh berbeda dengan pembelajaran yang konstruktif yang diadopsi dari teori Vygotsky. Pada prinsipnya teori tersebut menekankan hakikat sosial dari pembelajaran. Siswa belajar melalui interaksi orang dewasa dan teman sebaya yang lebih mampu. Siswa dihadapkan pada proses berpikir teman sebaya mereka, sehingga hasil belajar terbuka untuk seluruh siswa. Menurut Ibrahim dkk. (2000), ada tujuh dasar pembelajaran kooperatif, yaitu (a) siswa dalam kelompoknya merasa sehidup sepenanggungan bersama, (b) siswa bertanggung jawab atas segala sesuatu dalam kelompoknya (c) siswa di dalam kelompoknya mempunyai tujuan yang sama, (d) siswa membagi tugas dan tanggung jawab yang sama di antara anggota kelompok, (e) siswa akan mendapat nilai atau penghargaan untuk semua anggota kelompok, (f) siswa berbagi kepemimpinan dan membutuhkan keterampilan untuk belajar bersama, dan (g) siswa diminta mempertanggungjawabkan secara individual materi yang ditangani dalam kelompok koopertatif.

Dengan pembelajaran yang kooperatif, kita dapat menikmati keunggulannya dalam hasil belajar akademik, penerimaan terhadap perbedaan individu, dan pengembangan keterampilan sosial. Keunggulan tersebut dapat membantu siswa memahami konsep-konsep yang sulit. Hal-hal seperti inilah menjadi sarana efektif untuk mendidik perilaku humanis siswa. Di sini secara makro pembelajaran bahasa Indonesia dapat menanamkan nilai-nilai humanis dalam diri siswa yang heterogen itu.

Akan tetapi, pembelajaran yang kooperatif ini tidak banyak dikembangkan dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Hal ini karena guru dan siswa telah ‘dininabobokan’ dengan pembelajaran yang konvensional, yakni berpegang teguh pada buku teks dan latihan soal-soal untuk ujian nasional (UN). Inilah momok pembelajaran bahasa Indonesia yang lebih menekankan hasil bukan proses.

Sungguh ironis hasil itulah yang menentukan “nasib” siswa. Nasib peserta didik cenderung divonis dari performansi akhir, tanpa melihat bagaimana usaha mereka. Sangat disayangkan, pembelajaran bahasa Indonesia sepertinya tidak membumi lagi yang mau membentuk nilai-nilai humanis sehingga menjadi budaya dalam hidup bermasyarakat. Sebab dengan cara demikian, berarti kita mengorbankan jutaan generasi yang memiliki kebanggaan dan kecintaannya terhadap bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan persatuan yang lahir dari sekolah itu akan musnah, sirna, dan lenyap. Selain itu, kita juga mengajar dan mendidik mereka tidak menghargai bahasa Indonesia itu sendiri. Sungguh malang nasib Bahasa Indonesia. **

FAKTA DAN OPINI DALAM PEMBELAJARAN MENULIS BERITA

http://www.usd.ac.id/06/publ_dosen/gatra/jan05/kadi.htm

Fakta dan opini merupakan dua hal yang berbeda. Namun, dalam pemberitaan kedua hal tersebut sering dikacaukan dengan pengertiannya. Perbedaan fakta dan opini telah ditegaskan dalam Undang-undang Kode Etik Jurnalistik Wartawan Indonesia (KEJWI). Meskipun dalam KEJWI tidak menggunakan istilah “opini” tetapi memakai istilah “pendapat”.

Perbedaan secara jelas antara fakta dan opini menjadi sangat penting dalam menulis berita, karena berita harus benar-benar menyajikan fakta yang didukung oleh data. Seandainya dalam berita terdapat opini dari nara sumber atau dari wartawan, opini tersebut harus benar-benar dapat dibedakan mana yang fakta, mana yang opini dari nara sumber, dan mana yang berupa opini dari wartawan. Dengan demikian, sebuah berita benar-benar menyajikan informasi yang benar dan tidak membohongi publik.

Hal ini perlu diajarkan kepada mahasiswa agar mereka tidak melakukan kesalahan yang sama dengan para penulis berita sebelumnya. Strategi pembelajarannya diseyogyakan dilakukan dengan pendekatan active learning. Untuk model pembelajarannya digunakan dasar komunikatif dan integratif. Dasar langkah-langkah kegiatan belajar mengajar digunakan penalaran induktif. Evaluasinya tidak melulu berdasarkan hasil tugas akhir, melainkan berdasarkan dinamika mahasiswa dalam kegiatan belajar di kelas secara komprehensif.

PELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SEKOLAH , METAMORFOSIS ULAT MENJADI KEPOMPONG

http://re-searchengines.com/0106achmad.html

Pendidikan Bahasa Indonesia merupakan salah satu aspek penting yang perlu diajarkan kepada para siswa di sekolah. Tak heran apabila mata pelajaran ini kemudian diberikan sejak masih di bangku SD hingga lulus SMA. Dari situ diharapkan siswa mampu menguasai, memahami dan dapat mengimplementasikan keterampilan berbahasa. Seperti membaca, menyimak, menulis, dan berbicara. Kemudian pada saat SMP dan SMA siswa juga mulai dikenalkan pada dunia kesastraan. Dimana dititikberatkan pada tata bahasa, ilmu bahasa, dan berbagai apresiasi sastra. Logikanya, telah 12 tahun mereka merasakan kegiatan belajar mengajar (KBM) di bangku sekolah. Selama itu pula mata pelajaran Bahasa Indonesia tidak pernah absen menemani mereka.

Tetapi, luar biasanya, kualitas berbahasa Indonesia para siswa yang telah lulus SMA masih saja jauh dari apa yang dicita-citakan sebelumnya. Yaitu untuk dapat berkomunikasi dengan Bahasa Indonesia yang baik dan benar.Hal ini masih terlihat dampaknya pada saat mereka mulai mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Kesalahan-kesalahan dalam berbahasa Indonesia baik secara lisan apalagi tulisan yang klise masih saja terlihat. Seolah-olah fungsi dari pembelajaran Bahasa Indonesia di sekolah tidak terlihat maksimal. Saya penah membaca artikel dosen saya yang dimuat oleh harian Pikiran Rakyat. Dimana dalam artikel tersebut dibeberkan banyak sekali kesalahan-kesalahan berbahasa Indonesia yang dilakukan oleh para mahasiswa saat penyusunan skripsi. Hal ini tidak relevan, mengingat sebagai mahasiswa yang notabenenya sudah mengenyam pendidikan sejak setingkat SD hingga SMU, masih salah dalam menggunakan Bahasa Indonesia.

Lalu, apakah ada kesalahan dengan pola pengajaran Bahasa Indonesia di sekolah? Selama ini pengajaran Bahasa Indonesia di sekolah cenderung konvesional, bersifat hafalan, penuh jejalan teori-teori linguistik yang rumit. Serta tidak ramah terhadap upaya mengembangkan kemampuan berbahasa siswa. Hal ini khususnya dalam kemampuan membaca dan menulis. Pola semacam itu hanya membuat siswa merasa jenuh untuk belajar bahasa Indonesia. Pada umumnya para siswa menempatkan mata pelajaran bahasa pada urutan buncit dalam pilihan para siswa. Yaitu setelah pelajaran-pelajaran eksakta dan beberapa ilmu sosial lain. Jarang siswa yang menempatkan pelajaran ini sebagai favorit. Hal ini semakin terlihat dengan rendahnya minat siswa untuk mempelajarinya dibandingkan dengan mata pelajaran lain. Saya menyoroti masalah ini setelah melihat adanya metode pengajaran bahasa yang telah gagal mengembangkan keterampilan dan kreativitas para siswa dalam berbahasa. Hal ini disebabkan karena pengajarannya yang bersifat formal akademis, dan bukan untuk melatih kebiasaan berbahasa para siswa itu sendiri.

Pelajaran Bahasa Indonesia mulai dikenalkan di tingkat sekolah sejak kelas 1 SD. Seperti ulat yang hendak bermetamorfosis menjadi kupu-kupu. Mereka memulai dari nol. Pada masa tersebut materi pelajaran Bahasa Indonesia hanya mencakup membaca, menulis sambung serta membuat karangan singkat. Baik berupa karangan bebas hingga mengarang dengan ilustrasi gambar. Sampai ke tingkat-tingkat selanjutnya pola yang digunakan juga praktis tidak mengalami perubahan yang signifikan. Pengajaran Bahasa Indonesia yang monoton telah membuat para siswanya mulai merasakan gejala kejenuhan akan belajar Bahasa Indonesia. Hal tersebut diperparah dengan adanya buku paket yang menjadi buku wajib. Sementara isi dari materinya terlalu luas dan juga cenderung bersifat hafalan yang membosankan. Inilah yang kemudian akan memupuk sifat menganggap remeh pelajaran Bahasa Indonesia karena materi yang diajarkan hanya itu-itu saja.

Saya mengambil contoh dari data tes yang dilakukan di beberapa SD di Indonesia tentang gambaran dari hasil pembelajaran Bahasa Indonesia di tingkat SD. Tes yang digunakan adalah tes yang dikembangkan oleh dua Proyek Bank Dunia, yaitu PEQIP dan Proyek Pendidikan Dasar (Basic Education Projects) dan juga digunakan dalam program MBS dari Unesco dan Unicef. Dari tes menulis dinilai berdasarkan lima unsur: tulisan tangan (menulis rapi), ejaan, tanda baca, panjangnya karangan, dan kualitas bahasa yang digunakan. Bobot dalam semua skor adalah tulisan (15%), ejaan (15%), tanda baca (15%), panjang tulisan (20%), dan kualitas tulisan (35%).

Hanya 19% anak bisa menulis dengan tulisan tegak bersambung dan rapih. Sedangkan 64% bisa membaca rapih tetapi tidak bersambung. Perbedaan antarsekolah sangat mencolok. Pada beberapa sekolah kebanyakan anak menulis dengan rapih, sementara yang lain sedikit atau sama sekali tidak ada. Ini hampir bisa dipastikan guru-guru pada sekolah-sekolah yang pertama yang bagus tulisannya secara reguler mengajarkan menulis rapi. Sementara sekolah-sekolah yang belakangan tidak.

Hanya 16% anak menulis tanpa kesalahan ejaan dan 52% anak bisa menulis dengan ejaan yang baik (sebagian besar kata dieja dengan benar), sementara lebih dari 30% dari kasus menulis dengan kesalahan ejaan yang parah atau sangat parah. 58 % anak memberi tanda baca pada tulisan mereka dengan baik (dikategorikan bagus atau sempurna), sementara itu lebih dari 35% kasus anak yang menulis dengan kesalahan tanda baca dan dikategorikan kurang atau sangat kurang.

58% siswa menulis lebih dari setengah halaman dan 44% siswa isi tulisannya yang dinilai baik, yaitu gagasannya diungkapkan secara jelas dengan urutan yang logis. Pada umumnya anak kurang dapat mengelola gagasannya secara sistematis

Alasan mengapa begitu banyak anak yang mengalami kesulitan dalam menulis karangan dengan kualitas dan panjang yang memuaskan serta dengan menggunakan ejaan dan tanda baca yang memadai ialah anak-anak di banyak kelas jarang menulis dengan kata- kata mereka sendiri. Mereka lebih sering menyalin dari papan tulis atau buku pelajaran. Dari data tersebut menggambarkan hasil dari KBM Bahasa Indonesia di SD masih belum maksimal. Walaupun jam pelajaran Bahasa Indonesia sendiri memiliki porsi yang cukup banyak.

Setelah lulus SD dan melanjutkan ke SMP, ternyata proses pengajaran Bahasa Indonesia masih tidak kunjung menunjukan perubahan yang berarti. Ulat pun masih menjadi kepompong. Kelemahan proses KBM yang mulai muncul di SD ternyata masih dijumpai di SMP. Bahkan ironisnya, belajar menulis sambung yang mati-matian diajarkan dahulu ternyata hanya sebatas sampai SD saja. Pada saat SMP penggunaan huruf sambung seakan-akan haram hukumnya, karena banyak guru dari berbagai mata pelajaran yang mengharuskan muridnya untuk selalu menggunakan huruf cetak. Lalu apa gunanya mereka belajar menulis sambung?

Seharusnya pada masa ini siswa sudah mulai diperkenalkan dengan dunia menulis (mengarang) yang lebih hidup dan bervariatif. Dimana seharusnya siswa telah dilatih untuk menunjukkan bakat dan kemampuannya dalam menulis: esai, cerita pendek, puisi, artikel, dan sebagainya. Namun, selama ini hal itu dibiarkan mati karena pengajaran Bahasa Indonesia yang tidak berpihak pada pengembangan bakat menulis mereka. Pengajaran Bahasa Indonesia lebih bersifat formal dan beracuan untuk mengejar materi dari buku paket. Padahal, keberhasilan kegiatan menulis ini pasti akan diikuti dengan tumbuhnya minat baca yang tinggi di kalangan siswa.

Beranjak ke tingkat SMA ternyata proses pembelajaran Bahasa Indonesiapun masih setali tiga uang. Sang ulat kini hanya menjadi kepompong besar. Kecuali dengan ditambahnya bobot sastra dalam pelajaran bahasa indonesia, materi yang diajarkan juga tidak jauh-jauh dari imbuhan, masalah ejaan, subjek-predikat, gaya bahasa, kohesi dan koherensi paragraf, peribahasa, serta pola kalimat yang sudah pernah diterima di tingkat pendidikan sebelumnya. Perasaan akan pelajaran Bahasa Indonesia yang dirasakan siswa begitu monoton, kurang hidup, dan cenderung jatuh pada pola-pola hafalan masih terasa dalam proses KBM.

Tidak adanya antusiasme yang tinggi, telah membuat pelajaran ini menjadi pelajaran yang kalah penting dibanding dengan pelajaran lain. Minat siswa baik yang menyangkut minat baca, maupun minat untuk mengikuti pelajaran Bahasa Indonesia semakin tampak menurun. Padahal, bila kebiasaan menulis sukses diterapkan sejak SMP maka seharusnya saat SMA siswa telah dapat mengungkapkan gagasan dan ''unek-unek'' mereka secara kreatif. Baik dalam bentuk deskripsi, narasi, maupun eksposisi yang diperlihatkan melalui pemuatan tulisan mereka berupa Surat Pembaca di berbagai surat kabar. Dengan demikian apresiasi dari pembelajaran Bahasa Indonesia menjadi jelas tampak prakteknya dalam kehidupasn sehari-hari. Bila diberikan bobot yang besar pada penguasaan praktek membaca, menulis, dan apresiasi sastra dapat membuat para siswa mempunyai kemampuan menulis jauh lebih baik Hal ini sangat berguna sekali dalam melatih memanfaatkan kesempatan dan kebebasan mereka untuk mengungkapkan apa saja secara tertulis, tanpa beban dan tanpa perasaan takut salah.

Setelah melihat pada ilustrasi dari pola pengajaran tersebut saya melihat adanya kelemahan - kelemahan dalam pengajaran Bahasa Indonesia di sekolah. KBM belum sepenuhnya menekankan pada kemampuan berbahasa, namun lebih pada penguasaan materi. Hal ini terlihat dari porsi materi yang tercantum dalam buku paket lebih banyak diberikan dan diutamakan oleh para guru bahasa Indonesia. Sedangkan pelatihan berbahasa yang sifatnya lisan ataupun praktek hanya memiliki porsi yang jauh lebih sedikit. Padahal kemampuan berbahasa tidak didasarkan atas penguasaan materi bahasa saja, tetapi juga perlu latihan dalam praktek kehidupan sehari-hari.

Selain itu, pandangan atau persepsi sebagian guru, keberhasilan siswa lebih banyak dilihat dari nilai yang diraih atas tes, ulangan umum bersama (UUB) terlebih lagi pada Ujian Akhir Nasional (UAN). Nilai itu sering dijadikan barometer keberhasilan pengajaran. Perolehan nilai yang baik sering menjadi obsesi guru karena hal itu dipandang dapat meningkatkan prestise sekolah dan guru. Untuk itu, tidak mengherankan jika dalam KBM masih dijumpai guru memberikan latihan pembahasan soal dalam menghadapi UUB dan UAN. Apalagi dalam UUB dan UAN pada pelajaran bahasa Indonesia selalu berpola pada pilihan ganda. Dimana bagi sebagian besar guru menjadi salah satu orientasi di dalam proses pembelajaran mereka. Akibatnya, materi yang diberikan kepada siswa sekedar membuat mereka dapat menjawab soal-soal tersebut, tetapi tidak punya kemampuan memahami dan mengimplementasikan materi tersebut untuk kepentingan praktis dan kemampuan berbahasa mereka. Pada akhirnya para siswa yang dikejar-kejar oleh target NEM-pun hanya berorientasi untuk lulus dari nilai minimal atau sekadar bisa menjawab soal pilihan ganda saja. Perlu diingat bahwa soal-soal UAN tidak memasukan materi menulis atau mengarang (soal esai).

Peran guru Bahasa Indonesia juga tak lepas dari sorotan, mengingat guru merupakan tokoh sentral dalam pengajaran. Peranan penting guru juga dikemukakan oleh Harras (1994). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di beberapa negara berkembang, termasuk Indonesia, dilaporkannya bahwa guru merupakan faktor determinan penyebab rendahnya mutu pendidikan di suatu sekolah. Begitu pula penelitian yang dilakukan International Association for the Evaluation of Education Achievement menunjukkan bahwa adanya pengaruh yang signifikan antara tingkat penguasaan guru terhadap bahan yang diajarkan dengan pencapaian prestasi para siswanya . Sarwiji (1996) dalam penelitiannya tentang kesiapan guru Bahasa Indonesia, menemukan bahwa kemampuan mereka masih kurang. Kekurangan itu, antara lain, pada pemahaman tujuan pengajaran, kemampuan mengembangkan program pengajaran, dan penyusunan serta penyelenggaraan tes hasil belajar. Guru Bahasa Indonesia juga harus memperhatikan prinsip-prinsip pembelajaran bahasa yang langsung berhubungan dengan aspek pembelajaran menulis, kosakata, berbicara, membaca, dan kebahasaan .Rupanya guru juga harus selalu melakukan refleksi agar tujuan bersama dalam berbahasa Indonesia dapat tercapai.

Selain itu, siswa dan guru memerlukan bahan bacaan yang mendukung pengembangan minat baca, menulis dan apreasi sastra. Untuk itu, diperlukan buku-buku bacaan dan majalah sastra (Horison) yang berjalin dengan pengayaan bahan pengajaran Bahasa Indonesia. Kurangnya buku-buku pegangan bagi guru, terutama karya-karya sastra mutakhir (terbaru) dan buku acuan yang representatif merupakan kendala tersendiri bagi para guru. Koleksi buku di perpustakaan yang tidak memadai juga merupakan salah satu hambatan bagi guru dan siswa dalam proses pembelajaran di sekolah perpustakaan sekolah hanya berisi buku paket yang membuat siswa malas mengembangkan minat baca dan wawasan mereka lebih jauh.

Menyadari peran penting pendidikan bahasa Indonesia, pemerintah seharusnya terus berusaha meningkatkan mutu pendidikan tersebut. Apabila pola pendidikan terus stagnan dengan pola-pola lama, maka hasil dari pembelajaran bahasa Indonesia yang didapatkan oleh siswa juga tidak akan bepengaruh banyak. Sejalan dengan tujuan utama pembelajaran Bahasa Indonesia supaya siswa memiliki kemahiran berbahasa diperlukan sebuah pola alternatif baru yang lebih variatif dalam pengajaran bahasa Indonesia di sekolah. Agar proses KBM di kelas yang identik dengan hal-hal yang membosankan dapat berubah menjadi suasana yang lebih semarak dan menjadi lebih hidup. Dengan lebih variatifnya metode dan teknik yang disajikan diharapkan minat siswa untuk mengikuti pelajaran Bahasa Indonesia meningkat dan memperlihatkan antusiasme yang tinggi. Selain itu guru hendaknya melakukan penilaian proses penilaian atas kinerja berbahasa siswa selama KBM berlangsung. Jadi tidak saja berorientasi pada nilai ujian tertulis. Perlu adanya kolaborasi baik antar guru Bahasa Indonesia maupun antara guru Bahasa Indonesia dengan guru bidang studi lainnya. Dengan demikian, tanggung jawab pembinaan kemahiran berbahasa tidak semata-mata menjadi tanggung jawab guru Bahasa Indonesia melainkan juga guru bidang lain. Apabila, sistem pembelajaran Bahasa Indonesia yang setengah-setengah akan terus begini, maka metamorfosis sang ulat hanyalah akan tetap menjadi kepompong. Awet dan tidak berkembang karena pengaruh formalin pola pengajaran yang masih berorientasi pada nilai semata.

Jumat, 04 April 2008

Rusak Bahasa, Rusaklah Pemikiran

Seringkali pada saat perkuliahan kita mendengarkan seorang dosen berkata “Siapa yang dapat mengkritisi pernyataan tersebut ? Mahasiswa hanyalah berusaha untuk menjawab pertanyaan dosen tersebut. Tetapi apakah kita sadar sebagai mahasiswa bahwa terdapat kekeliruan pada kalimat tersebut. Apakah yang salah dengan pernyataan tersebut ? Mungkin kita dapat mengetahuinya lebih lanjut setelah kita mengurainya menjadi lebih dalam. Marilah kita perhatikan lagi secara lebih seksama.

Menggunakan bahasa secara tepat dan benar tidaklah mudah tentu saja diperlukan pengetahuan tentang bahasa itu melalui pelajaran khusus. Pengetahuan berbahasa secara alami saja tidak cukup. Di sekolah guru mengajarkan kepada murid-muridnya bagaimana bahasa yang benar tentang makna kata, bentuk kata, dan susunan kata dalam kalimat. Pada saat kita berkuliah pun, kita mendapatkan bekal mengenai bahasan tersebut.
Beranjak dari pernyataan di atas, menurut J. S. Badudu, ada dua segi bahasa yang utama, yakni bentuk dan isi. Yang dimaksud dengan isi adalah makna, arti, atau maksud yang terkandung dalam bentuk bahasa itu. Bentuk dan isi tentu harus sejalan. Kalau bentuk salah, misalnya susunan kata-kata dalam kalimat tidak teratur sesuai dengan struktur kalimat, maka arti atau maksud kalimat itu akan kabur atau tidak dapat dipahami.
Mari kita tinjau sepatah kata yang sering dipakai orang, padahal kata itu salah bentuknya. Yang saya maksud adalah mengkritisi. Misalnya kalimat Dia mengkritisi bahasa saya bukan kalimat yang benar. Kata kritisi adalah kata bentuk sebagai bentuk jamak dari kritikus, “orang yang ahli mengkritik”. Baik kata kritikus maupun kritisi berasal dari kritik.
Menurut J.S. Badudu, kata kritik dipungut dari bahasa Belanda yang padanannya dalam Indonesia, “kecaman”. Kata kerjanya adalah mengkritik dan dikritik. Contoh pemakaiannya:
Tabiat manusia pada umumya suka mengkritik, tetapi tidak senang bila dikritik.
H. B. Jassin (alm) adalah seorang kritikus sastra yang terkenal.
Kritisi sastra Indonesia sangat sedikit, malah boleh dikatakan orang yang melakukan kerja kritik secara teratur seperti H. B. Jassin hamper tidak ada.
Dengan penggunaannya dalam kalimat seperti pada contoh-contoh di atas, kita dapat melihat bagaimana penggunaan kata itu secara benar dalam kalimat. Dalam bahasa Indonesia tidak ada bentuk kata kerja mengkritisi dan dikritisi. Kedua bentuk itu adalah bentuk yang salah kaprah.
Dilihat dari penjabaran di atas akankah kita tetap mengulangi kesalahan yang sama. Sedangkan seharusnya jurusan bahasa Indonesia adalah tempat para ahli berbahasa. Tetapi kenyataannya kesalahan berbahasa malah timbul dari seorang penutur yang menjadi pendidik di lingkungan universitas khususnya jurusan bahasa Indonesia. Bukankah seharusnya jurusan ini merupakan pencetak mahasiswa dalam bidang pendidikan bahasa Indonesia yang kepemilikan kosa kata bahasa Indonesianya harus lebih matang dibandingkan juruan bahasa lain.
Pendidik adalah seseorang yang mengajarkan suatu ilmu dengan kebenaran. Tetapi kita juga tidak dapat menyalahkan semua faktor tersebut kepada seseorang pendidik. Beranjak dari kurangnya pemahamanlah hal tersebut bermula. Tetapi manakah yang benar di antara pendapat J. S. Badudu tersebut dengan pernyataan dari seorang pendidik di atas ? Mungkinkah kita sebagai mahasiswa akan mengalami kebingungan yang mendalam secara terus menerus. Akankah hal tersebut mendapatkan perlakuan lebih lanjut ? Jawabannya adalah kita sebagai mahasiswa haruslah mencari pengetahuan lebih banyak di luar lingkungan kampus. Agar hal sebelumnya tidak terulang lagi. Maka hendaknya kita sebagai mahasiswa haruslah belajar dari pengalaman. Setidaknya pengetahuan yang kita dapatkan tidak hanya melulu dari lingkungan kampus saja tetapi juga pengalaman di luar lingkungan kampus.