Jumat, 04 April 2008

Rusak Bahasa, Rusaklah Pemikiran

Seringkali pada saat perkuliahan kita mendengarkan seorang dosen berkata “Siapa yang dapat mengkritisi pernyataan tersebut ? Mahasiswa hanyalah berusaha untuk menjawab pertanyaan dosen tersebut. Tetapi apakah kita sadar sebagai mahasiswa bahwa terdapat kekeliruan pada kalimat tersebut. Apakah yang salah dengan pernyataan tersebut ? Mungkin kita dapat mengetahuinya lebih lanjut setelah kita mengurainya menjadi lebih dalam. Marilah kita perhatikan lagi secara lebih seksama.

Menggunakan bahasa secara tepat dan benar tidaklah mudah tentu saja diperlukan pengetahuan tentang bahasa itu melalui pelajaran khusus. Pengetahuan berbahasa secara alami saja tidak cukup. Di sekolah guru mengajarkan kepada murid-muridnya bagaimana bahasa yang benar tentang makna kata, bentuk kata, dan susunan kata dalam kalimat. Pada saat kita berkuliah pun, kita mendapatkan bekal mengenai bahasan tersebut.
Beranjak dari pernyataan di atas, menurut J. S. Badudu, ada dua segi bahasa yang utama, yakni bentuk dan isi. Yang dimaksud dengan isi adalah makna, arti, atau maksud yang terkandung dalam bentuk bahasa itu. Bentuk dan isi tentu harus sejalan. Kalau bentuk salah, misalnya susunan kata-kata dalam kalimat tidak teratur sesuai dengan struktur kalimat, maka arti atau maksud kalimat itu akan kabur atau tidak dapat dipahami.
Mari kita tinjau sepatah kata yang sering dipakai orang, padahal kata itu salah bentuknya. Yang saya maksud adalah mengkritisi. Misalnya kalimat Dia mengkritisi bahasa saya bukan kalimat yang benar. Kata kritisi adalah kata bentuk sebagai bentuk jamak dari kritikus, “orang yang ahli mengkritik”. Baik kata kritikus maupun kritisi berasal dari kritik.
Menurut J.S. Badudu, kata kritik dipungut dari bahasa Belanda yang padanannya dalam Indonesia, “kecaman”. Kata kerjanya adalah mengkritik dan dikritik. Contoh pemakaiannya:
Tabiat manusia pada umumya suka mengkritik, tetapi tidak senang bila dikritik.
H. B. Jassin (alm) adalah seorang kritikus sastra yang terkenal.
Kritisi sastra Indonesia sangat sedikit, malah boleh dikatakan orang yang melakukan kerja kritik secara teratur seperti H. B. Jassin hamper tidak ada.
Dengan penggunaannya dalam kalimat seperti pada contoh-contoh di atas, kita dapat melihat bagaimana penggunaan kata itu secara benar dalam kalimat. Dalam bahasa Indonesia tidak ada bentuk kata kerja mengkritisi dan dikritisi. Kedua bentuk itu adalah bentuk yang salah kaprah.
Dilihat dari penjabaran di atas akankah kita tetap mengulangi kesalahan yang sama. Sedangkan seharusnya jurusan bahasa Indonesia adalah tempat para ahli berbahasa. Tetapi kenyataannya kesalahan berbahasa malah timbul dari seorang penutur yang menjadi pendidik di lingkungan universitas khususnya jurusan bahasa Indonesia. Bukankah seharusnya jurusan ini merupakan pencetak mahasiswa dalam bidang pendidikan bahasa Indonesia yang kepemilikan kosa kata bahasa Indonesianya harus lebih matang dibandingkan juruan bahasa lain.
Pendidik adalah seseorang yang mengajarkan suatu ilmu dengan kebenaran. Tetapi kita juga tidak dapat menyalahkan semua faktor tersebut kepada seseorang pendidik. Beranjak dari kurangnya pemahamanlah hal tersebut bermula. Tetapi manakah yang benar di antara pendapat J. S. Badudu tersebut dengan pernyataan dari seorang pendidik di atas ? Mungkinkah kita sebagai mahasiswa akan mengalami kebingungan yang mendalam secara terus menerus. Akankah hal tersebut mendapatkan perlakuan lebih lanjut ? Jawabannya adalah kita sebagai mahasiswa haruslah mencari pengetahuan lebih banyak di luar lingkungan kampus. Agar hal sebelumnya tidak terulang lagi. Maka hendaknya kita sebagai mahasiswa haruslah belajar dari pengalaman. Setidaknya pengetahuan yang kita dapatkan tidak hanya melulu dari lingkungan kampus saja tetapi juga pengalaman di luar lingkungan kampus.